MANUSIA yang bertakwa adalah manusia yang paling mulia di sisi Allah. Dan
orang yang bertakwa segara orientasi hidupnya kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala
(سبحانه و تعالى). “Anta maqshuduna, ridhaka mathlubuna, dunyana wa ukhrana”
(Engkaulah tujuan puncak kami, keridhaan-Mu yang aku cari, demi menggapai
kebahagiaan dunia dan keselamatan akhirat kami). Bukan yang lain. Bukan karena
ilmu kita, jabatan kita, kepandaian kita, harta kita atau orientasi dunia
lainnya.
Dengan takwa, manusia selalu mentauhidkan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و
تعالى) dan tidak menyekutukan-Nya. Selalu mengingat-Nya dan tidak
melupakan-Nya. Selalu mensyukuri karunia-Nya dan tidak mengingkari-Nya. Selalu
mendekatkan diri kepada-Nya dan tidak menjauhi-Nya, meminjam istilah Ibnu Masud
dalam Tafsir Ath Thabari.
Indikator Keislaman
Lantas apa indikasinya bahwa keislaman kita sesuai “Manhaj
Nubuwwah”? setidaknya ada delapan indikato yang bisa memudahkan kita
sebagai alat ukur mutu keislaman seseorang;
Pertama: Terkikisnya Virus Thagha’
Istilah tagha’ (baca thogho) ini diambil dari surat Al-‘Alaq pada
ayat 6. Secara bahasa artinya melampaui batas. Seperti air yang tumpah dari
gelas, karena diisi melebihi dari ukurannya. Manusia bersikap thagha karena
merasa dirinya serba cukup (ayat 7). Merasa dirinya sudah berharta, berilmu dan
berkuasa. Tidak lagi memerlukan bimbingan dari Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى).
Jadi, pertama kali yang harus dilakukan oleh orang yang ingin berhasil
mengenal Islam adalah tazkiyatun nafsi (membersihkan hati), berfikir
obyektif dan terbuka. Melihat ke langit (Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و
تعالى)), ke tengah (ayat diri sendiri) dan ke bawah (alam dan seisinya dan
tempat kembali manusia). Jika hati kita belum bisa disterilkan dari kepentingan
hawa nafsu, dunia dan kekuasaan, maka mustahil Islam bisa kita serap dan kita
nikmati secara baik. Islam yang bisa dijadikan pencegah dari perbuatan fahsya
dan mungkar. Bukan sekedar Islam sebagai pencuci dosa. Bangsa kita yang
mayoritas Muslim, tapi buktinya masih banyak melakukan korupsi. Karena ajaran
Islam hanya dijadikan penebus dosa sebagaimana agama lain. Dari sini
sesungguhnya sudah cukup memadai mutu keislaman kita.
Bahaya laten thagha’ akan berakibat fatal dan krusial. Yaitu membatalkan
keislaman kita.
Penyakit tagha’ melahirkan tiga kejahatan yang menjadi pemicu
penyimpangan manusia sepanjang sejarah. Yaitu, sombong yang diwariskan oleh
iblis, serakah (thama’) yang ditularkan oleh Adam as dan hasud yang
diwariskan oleh Qabil.
Tagha’ dan iman akan terus berhadap-hadapan sampai hari kiamat.
Kebenaran dan kebatilan, keimanan dan kemusyrikan, al Haqq wal Batil,
tidak akan bisa dipertemukan sepanjang sejarah peradaban manusia. Buah dari
terkikisnya thagha’ akan mendidik manusia untuk memiliki sikap tawadhu.
Rendah hati, selalu memerlukan bimbingan wahyu.
Kedua: Keimanan kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala
(سبحانه و تعالى)
Sasaran al-Quran adalah orang-orang yang beriman. Sekalipun tinggi kualitas
keilmuan, peradaban manusia, ketika berinteraksi dengan al-Quran dengan
memaksakan pemahamannya atau menyimpan niat yang buruk, al-Quran yang demikian
terang, menjadi kabur. Jadi, iman adalah modal utama dan pertama untuk
At-Ta’amul ma’a Al-Quran.
Iman, bagaikan air sumur zamzam. Sumber yang dipancarkannya tidak akan pernah
kering dan habis sepanjang sejarah peradaban manusia. Iman itulah yang
memotivasi pemiliknya untuk istiqomah (konsisten), mudawamah
(berkesinambungan), istimroriyah (terus-menerus), tanpa mengenal
lelah, dengan sabar, tegar, teguh, tekun, tawakkal, mengajak kepada kebaikan dan
mencegah segala bentuk kemungkaran tanpa tendensi apapun, pura-pura dan pamrih.
Tidak mengharapakan pujian, ucapan terima kasih dan balasan serta tidak takut
celaan orang yang mencela.
Imanlah yang menjadikan seseorang terus bergerak menyemai kebaikan-kebaikan
di taman kehidupan ini tanpa kenal letih. Karena, ia yakin dalam setiap gerakan
yang dimotivasi oleh nilai-nilai keimanan itu tersimpan potensi
kebaikan-kebaikan melulu (barakah). “Taharrak fa-inna fil harakati barakah”
(bergeraklah, karena setiap gerakan ada tambahan kebaikan). Dan kebaikan
yang ditanam itu akan ia panen, kembali kepada dirinya. Baik secara kontan
(langsung) ataupun secara kredit (tidak langsung). Bukan dipanen orang lain.
Justru, jika berhenti bergerak, potensi yang dimilikinya tinggal sebuah potensi.
Tidak tumbuh dan berkembang. Air yang tidak mengalir, akan menjadi sarang
berbagai kuman yang mematikan.
Imanlah yang menjadikan seseorang terus aktif membendung/menghalangi berbagai
pengaruh negatif kejelekan, kefasikan, kezhaliman, kemungkaran. Karena, semua
perbuatan dosa dan maksiat akan menghancurkan dirinya sendiri. Manusia yang
bergelimang dalam perbuatan dosa, di dunianya tersiksa, sedangkan di akhirat
siksanya lebih menyakitkan. Imanlah yang mencegah pemiliknya untuk menelola hawa
nafsu (syahwat), nafsu perut dan nafsu kelamin. Karena kedua nafsu duniawi itu
semakin dicicipi dengan cara yang salah bagaikan meminum air laut. Semakin di
minum, bertambah haus.
Ali bin Abi Thalib mengatakan: Tiga hukuman bagi orang yang berbuat maksiat,
yaitu penghidupan yang serba sulit, sulit menemukan jalan keluar dari himpitan
persoalan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya kecuali dengan melakukan
maksiat kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).
Ketiga: Menjadikan Diri Sebagai Alat Peraga al-Quran
Kita sepakat bahwa al-Quran adalah kitab suci yang orisinil. Ini sudah
diberitakan oleh kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Namun secara jujur kita
mengakui, betapa jauhnya jarak antara kaum muslimin dengan kitab sucinya.
Bagaikan pemain layang-layang. Umat Islam belum mampu menjadikan dirinya sebagai
gambaran kongkrit “al-Quran yang berjalan di pasar, di gedung parlemen, di jalan
raya, di rumah tangga, di lembaga pendidikan, di dunia militer” dll.
Faktanya, al Quran sekedar dijadikan mantra, sehingga tidak berefek apa pun
pada perubahan pola pikir, sudut pandang, arah kehidupan, orientasi dan perilaku
kehidupan dalam skala individu, keluarga, bangsa dan negara.
Agar kita menjadi orang-orang yang berorientasi al-Quran, hendaklah al-Quran
menjadi penuntun dan pemandu seluruh kehidupan kita. Sehingga al-Quran merubah
kehidupan kita secara total dan merujuk referensi isi al-Quran.
Sikap seorang Muslim terhadap al-Quran seharusnya ada empat hal. Tasmi’,
(mendengarkan dengan merenungi isinya), tafhim (memahami),
ta’lim (mengajarkan kepada orang lain), tathbiq (mengamalkan),
kemudian mengajak orang lain ke jalan Al Quran tersebut. Mustahil mendakwakan
al-Quran jika kita sendiri tidak mengamalkannya. Jadiakan al-Quran sebagai
pembelamu (hujjatun laka) atau penggugatmu (hujjatun ‘alaika),
demikian Sabda Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).
Artinya, al-Quran bisa memperkuat sikap kita sebaliknya bisa menghancurkan kita
atas sikap-sikap kita yang tak sesuai dengan nilai yang terkandung salam
al-Quran.
Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Quran kepada mereka, mereka
berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?" Katakanlah:
"Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al
Quran Ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman." Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah
baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat[mendengar
dan memperhatikan sambil berdiam diri]." (QS. Al Araf (7): 203-204).
Keempat: Menjadikan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam
sebagai Idola
Tujuan puncak orang beriman adalah mencari ridha Allah (Ya Allah Ya
Rabbana Anta Maqshuduna, Ridhaka Mathlubuna Dunyana Wa Ukhrona). Rasulullah
Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) adalah manusia yang dipilih
oleh-Nya untuk menyampaikan wahyu kepada umat manusia.
Tujuan berislam adalah mencari ridha Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و
تعالى) atau "Allahu Ghoyatuna". Dan salah satu strategi
menjalankannya dalam kehidupan adalah mengikuti Rasulullah Muhammad.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS. Al Ahzab (33) : 21)
Tapi mari kita saksikan pada diri kita semua, saudara kita, atau anak-anak
kita. Siapa sosok yang menjadi idola kita atau mereka? Nabikah? Yang cukup
menggenaskan, di Bandung, wanita-wanita yang mengidolakan Ariel Paterpan, artis
pelaku pornografi justu gadis-gadis berjilbab. Jangan-jangan di antara mereka
adalah anak kita. Na’udzu Billah min dzalik.
Kelima: Ibadah, Refleksi dari Keimanan
Agar hati bisa dirawat dari berbagai penyakit yang mengotori dan merusaknya,
memerlukan ketekunan dalam ibadah kepada-Nya. Untuk menguji kualitas komitmen
keimanan seseorang adalah giat beribadah kepada Allah. Baik yang wajib ataupun
yang sunnah. Ketaatan beribadah merupakan turunan dari keimanan. Pengertian iman
adalah, “Al imanu tashdiqu bil qalb, iqraru bil lisan wal 'amalu bil arkan.”
(Iman itu diyakini di dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan
dengan anggota badan). Bukan disebut beriman hanya karena dia memakai songkok
putih, bergelar haji, tetapi tindak-tanduknya belum mencerminkan seorang Muslim.
Atau tidak bisa seseorang dikatakan sholeh hanya karena dia baik, suka
menyumbang fakir-miskin, tetapi dia kafir atau tidak pernah sholat. Seorang yang
beriman namanya mukmin. Dan orang Mukmin, dia pasti rajin beribadah dan kuat
memegang syariat Allah.
Keenam: Bangkit untuk Inqadzul Ummah
Tidak cukup seorang muslim puas jika melihat dirinya shalih, sedangkan
membiarkan orang lain jahat. Islam yang benar, di samping dirinya shalih, pula
mengajak saudaranya menjadi shalih pula. Seorang muslim yang tidak memiliki
kepekaan sosial, maka suatu saat keimanan yang dimilikinya akan mengalami
degradasi. Karena secara individual orang yang shalih disebut khairul
bariyyah, dan membentuk umat sehingga menjadi khairu ummah.
Mustahil menjadi khairu ummah tanpa bahan dasar khairul
bariyyah. Insan shalih tidak bisa dipisahkan dari al mujtama’
ash-shalih (masyarakat yang shalih).
Jadi, kita dituntut untuk shalih linafsihi dan shalih lighairihi.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ
وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah.” (QS. Ali Imran (3) : 110).
Ketujuh: Menegakkan Kepemimpinan Imamah dan Jamaah
Konsekwensi keimanan seseorang adalah berjamaah (berkumpul karena ikatan la
ilaha illallah muhammadur rasulullah). Bukan sekedar ikatan kerja. Manusia
adalah makhluk sosial. Sekalipun memikul pekerjaan sederhana, misalnya tertawa,
mencukur rambut, memerlukan keterlibatan orang lain. Lebih-lebih melaksanakan
ajaran Islam yang demikian lengkap dan mengandung persoalan yang kompleks. Islam
bukan sekedar makanan akal, pula konsumsi hati dan perasaan. Islam tidak sebatas
dipahami, tetapi perlu diperagakan dalam kehidupan nyata. Din (konsep) tidak
bisa dipisahkan dari daulah (penerapannya). Orang Islam dituntut menunjukkan
bahwa dirinya adalah alat peraga al-Quran dan as-Sunnah. Yang berjalan di alam
nyata.
Dan Islam tidak akan berdiri tegak dan teraplikasikan secara kaffah tanpa
adanya sebuah jamaah yang kuat dan berwibawa. Kita sangat diuntungkan dengan
berjamaah, untuk menjaga keshalihan kita. Di samping itu, tidak ada satupun ayat
yang menjelaskan orang beriman dengan menggunakan kata tunggal (mufrad), - aman
- tetapi memakai isim jama’ – amanuu -.
Kepemimpinan yang dibangun tidak berdiri di atas prinsip laa ilaaha illah
muhammadurrasulullah, maka mustahil bisa menguatkan ikatan hati. Sebagaimana
kondisi masyarakat Yahudi yang digambarkan dalam al-Quran. Karena masing-masing
individu berjiwa kerdil. Imamah jamaah adalah media yang paling efektif untuk
menyederhanakan perbedaan kita dan menonjolkan persamaan. Mengecilkan persoalan
furuiyah (cabang agama) dan membesarkan persoalan ushul
(pokok). Karena, perkumpulan kita diikat oleh ikatan yang prinsip
(ideologis), La ilaha illah wa Muhammadur Rasulullah Shallahu ‘alaihi
Wassalam. Bukan kepentingan pragmatis dan sesaat serta jangka pendek.
Kedelapan: Mewujudkan Ukhuwah Islamiyah
Inilah nikmat tertinggi yang kita rasakan setelah nikmat iman kepada Allah
Subhanahu Wata’ala. Ukhuwwah Islamiyah inilah yang berhasil memutus
mata rantai ‘ashabiyah (fanatisme kesukuan), ananiyah (egoisme),
keangkuan, kesombongan, atribut dan asesoris lahiriyah, yang menjadi pilar
berdirinya masyarakat jahiliyah. Persaudaraan yang diikat oleh ikatan tauhid ini
yang bisa mengungguli ikatan kekeluargaan seketurunan.
Inilah sebuah ikatan yang kokoh, karena dibingkai oleh prinsip. Saling cinta
mencintai karena Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Maka, lahirlah
sebuah ungkapan; “Seandainya cinta dan kasih sayang itu telah merasuk dalam
kehidupan maka manusia tidak memerlukan keadilan dan undang-undang.”
Kasmansingodimejo salah satu pendiri Muhammadiyah pernah mengatakan;
“Sesungguhnya kaum muslimin sekalipun hanya mengumpulkan kerikil, dalam
waktu dekat akan menjadi gunung.” Seandainya jumlah kaum muslimin yang
demikian besar dan berhasil menyingkirkan perbedaan-perbedaan kecil di antara
mereka (furuiyah), maka hanya sekedar kencing secara berjamaah di
pemukiman Yahudi di Palestina, mereka akan “tenggelam”.
Imam Syafii mengatakan’ “Allah tidak akan menolong umat yang
bercerai-berai, baik dahulu, kini dan umat yang akan datang.” Bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh, kata pepatah Indonesia. Karena, tangan Allah di
atas orang yang berjamaah (berkumpul karena ikatan iman), bukan sekedar
berhimpun dan bergerombol karena hobi.
Semoga, tulisan ini semakin memperkokoh dan memperkuat identitas keislaman
kita semua. Amin.*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar