PROBLEM karakter dan moral di zaman ini tidak saja melanda
mereka yang masih berstatus sebagai pelajar, tetapi juga orang tua, termasuk
para guru yang dikenal sebagai pendidik. Kasus terbaru tentang pelecehan seksual
yang dilakukan oknum guru kepada murid di Jakarta, menambah statistic
tercorengnya dunia pendidikan kita.
Tentu, kita semua prihatin terhadap masalah seperti itu. Belum lagi kalau
melihat para guru turun ke jalan menuntut hak-hak mereka, sedih rasanya. Mengapa
nasib para guru di negeri ini sungguh sangat memprihatinkan, sampai-sampai
mereka yang terhormat harus sama seperti buruh pabrik.
Terlepas dari apapun problem yang melanda dunia pendidikan saat ini.
Kewajiban setiap guru adalah melahirkan generasi Qur’ani, generasi Rabbani.
Jadi, sudah semestinya setiap guru memperhatikan apa saja yang perlu diupayakan
agar profesinya sebagai guru benar-benar dapat mendatangkan berkah dan ridha
Allah Subhanahu Wata’ala.
Niat Tulus Lillahi Ta’ala
Kendala apapun Terlepas dari apapun yang kini menjadi kekurangan dunia
pendidikan, termasuk perhatian pemerintah terhadap guru, serta banyaknya
kualitas guru yang belum sesuai harapan, tidak mengharuskan para guru salah
pilih dalam mengambil keputusan. Para guru harus tetap optimis.
Sebab hakikat kehidupan ini sesungguhnya bukan ada di dunia, tetapi di
akhirat. Maka dari itu mari kembali melihat niat kita menjadi guru. Apakah niat
menjadi guru memang untuk hidup mewah atau ingin melahirkan generasi rabbani?
Jika kita ingin mendapat ridha Allah dengan menjadi guru, sungguh pilihan itu
adalah pilihan yang sangat mulia.
Menurut Abu Dawud niat dalam Islam adalah separuh dari agama Islam. Artinya,
niat adalah perkara penting. Dan, siapa saja yang ingin mendapat kebahagiaan
yang hakiki hendaknya setiap amal perbuatannya diniatkan karena Allah Subhanahu
Wata’ala. Karena setiap pekerjaan tergantung pada niat.
Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal
perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan
niatnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Membangun Karakter Dasar
Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad
dikatakan bahwa seorang guru hendaknya memiliki lima karakter dasar.
Pertama, IKHLAS. Para guru hendaknya mencanangkan niatnya
semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa
perintah, larangan, nasehat, pengawasan ataupun hukuman.
Ikhlas itu “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada
Allah Subhanahu Wata’ala” sebagaimana sabda Nabi; “Engkau beribadah kepada
Allah seakan akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Ia melihatmu.”
Dalam konteks ikhlas ini Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang
dikerjakan secara tulus (ikhlas), semata-mata untuk-Nya, dan mengharapkan
keridhaan-Nya.” (HR. Abu Dawud).
Kedua, TAKWA. Setelah ikhlas, seorang guru harus takwa
sebagaimana telah didefinisikan oleh para ulama, yaitu: menjaga agar Allah tidak
melihatmu di tempat larangan-Nya, dan jangan sampai Anda tidak didapatkan di
tempat perintah-Nya. Mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan
larangan-Nya.
وَأَنْ أَقِيمُواْ الصَّلاةَ وَاتَّقُوهُ وَهُوَ الَّذِيَ إِلَيْهِ
تُحْشَرُونَ
“Dirikannya shalat serta bertakwa kepadaNya." [QS: al an’am: 72]
Dalam bahasan takwa ini, Umar bin Khaththab pernah berdialog dengan Ubay bi
Ka’ab. Sayyidina Umar bertanya, “Apa yang dimaksud takwa itu?” Ubay pun
menjawab, “Apakah kamu pernah berjalan pada jalan yang berduri?”
Umar menjawab, “Ya, pernah”. Ubay pun bertanya lagi, “Apa yang kamu lakukan?”
“Aku singkirkan duri itu,” jawab Umar. Ubay pun berkata, “Itulah takwa”.
Begitu pentingnya takwa ini, Allah Ta’ala pun mengulang-ulangnya dalam banyak
ayat. Sekedar untuk menyebut di antaranya teradapat pada QS. 3: 102, QS. 33: 70,
QS. 59 : 18, dan QS 22 : 1.
Oleh karena itu kriteria manusia yang paling mulia dalam Islam bukanlah
mereka yang memegang kekuasaan atau pun menguasai harta kekayaan, tetapi siapa
yang paling takwa.
Rasulullah bersabda, “Ditanyakan, wahai Rasululah:
siapakah manusia yang paling mulia?” Rasulullah bersabda, “Yang paling takwa di
antara mereka”.
Lebih spesifik Rasulullah juga berpesan takwa kepada para guru. “Takwalah
kepada Allah, berlaku adillah kepada anak-anakmu, sebagaimana kamu menginginkan
mereka semuanya berbakti kepadamu.” (HR. Thabrani).
Jadi, sangat penting setiap guru memiliki mental takwa ini. Jika tidak, maka
anak akan tumbuh menyimpang, terombang-ambing dalam kerusakan, kesesatan dan
kebodohan. Logikanya sederhana, bagaimana anak murid akan takwa jika gurunya
justru tidak memberi keteladanan.
Ketiga, ILMU. Hal ini sudah barang tentu tidak perlu dibahas
panjang lebar. Karena guru adalah penyampai ilmu maka sudah selayaknya guru
gemar menuntut ilmu. Sebab menuntut ilmu dalam Islam adalah kewajiban.
Keutamaan lain yang bisa diperoleh seorang pendidik adalah pahala yang tidak
terputus, selama ilmu yang ia ajarkan terus diamalkan dan diajarkan kepada orang
lain. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya akan terputus,
kecuali tiga hal: Shadaqah Jariyyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang
mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, SABAR. Termasuk sifat mendasar yang dapat menolong
keberhasilan guru dalam tugas mendidik adalah sifat sabar, yang dengan sifat itu
anak akan tert
arik kepada gurunya. Dengan kesabaran, anak murid akan berhias
dengan akhlak yang terpuji, dan terjauh dari perangai tercela. Apalagi, mengajar
anak di zaman sekarang, yang nota bene lebih banyak menguras energi dan
perasaan.
Oleh karena itu, Allah memberikan peringatan berulang kali kepada kita agar
tetap sabar dalam upaya apapun, lebih-lebih dalam mendidik generasi masa depan.
Jadi, apapun tantangan dan hambatan seorang guru dalam mendidik hendaknya sabar
menjadi pilihan utama.
“Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan
amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. 11
: 11).
Kelima, BERTANGGUNG JAWAB. Tanggung jawab ini menurut Nashih
Ulwan meliputi aspek keimanan, tingkah laku keseharian, kesehatan
jasmani-ruhani, maupun aspek sosialnya. Jadi, bukan semata-mata tanggung jawab
guru konseling jika ada anak tidak disiplin. Semua guru, termasuk kepala sekolah
turut bertanggung jawab. Karena setiap guru adalah pemimpin bagi anak
muridnya.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan bertanya
kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah dipelihara atau
disia-siakan-nya, sehingga bertanya kepada laki-laki tentang keluarganya.”
(HR: Ibn Hibban).
Ketika seorang guru memiliki lima karakter mendasar sebagai pendidik, insya
Allah kerusakan, kelemahan atau kekurangan di dunia pendidikan dapat dieliminir
secara menyeluruh. Karena sebagus apapun sistim pendidikan, jika gurunya tidak
memiliki karakter dasar itu, maka terseok-seoklah pendidikan kita. Wallahu
a’lam.*/Imam Nawawi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar