Jumat, 10 Mei 2013

Islam, Pancasila, dan Gerakan Dakwah


USAHA pemerintah dan DPR mengebiri gerakan Islam mulai terasa kembali. Setelah menuding sejumlah Organisasi Massa (Ormas) Islam, sebagai Ormas radikal-fundamentalis, kini mereka dicap sebagai gerakan Islam anti-Pancasila.

Dalam RUU Ormas, disebutkan, bahwa Ormas dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang beroperasi di Indonesia wajib mencantumkan Pancasila sebagai asas cirinya. Bila menolak asas ini, maka otomatis Ormas atau LSM itu illegal.

Seperti dilansir pada Republika co.id, Jum'at (22/3), Dirjen Kesbangpol Kemendagri Tanribali Lamo mengatakan, kalau RUU Ormas disahkan, tidak ada satu pun Ormas yang bebas mengelak dari aturan yang ada. Karena itu, kalau ada Ormas yang terang-terangan menolak asas Pancasila, maka diberi peringatan. Kalau sanksi peringatan tiga kali tidak diindahkan, bisa dibekukan dan dibubarkan lewat pengadilan.

Dari puluhan Ormas dan LSM yang berada di Tanah Air, HTI termasuk salah satu Ormas yang menolak mencantumkan asas Pancasila karena menganut paham Pan Islamisme (Khilafah Islamiyah). "Jelas, mereka dibubarkan dan tidak boleh beraktivitas di ruang publik," katanya.

Tentunya publik tidak akan mempersoalkan pasal-pasal "intimidatif" itu, jika memang perumusan RUU Ormas itu murni dan orisinil berasal dari anak-anak bangsa. Artinya, RUU itu dibentuk sebagai satu kesatuan sikap dan ideologi berbangsa dan bernegara. Lagi pula, nilai-nilai agama (Islam) juga tercermin dalam Pancasila.

Namun, publik akan bertanya dan sangsi, apakah betul perumusan pasal-pasal larangan penggunaan asas-asas lain selain Pancasila itu bukan "pesanan" dari pihak "lain" alias negara-negara asing yang selama ini "keras" sekaligus khawatir dengan gerakan Islam?

Jika sejumlah alasan itu yang dijadikan rujukan dan dasar pelarangan Ormas/LSM yang enggan mencantumkan asas Pancasila, maka pelarangan itu sendiri sesunggunya tidaklah pancasilais. Sebab, Pancasila sendiri tidak mengajarkan seseorang dibeda-bedakan hanya karena berbeda pada asas Ormasnya.

Lagi pula, Islam dan Pancasila tidak bisa saling dipertentangkan. Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa atas dasar perbedaan. Para perumus Pancasila itu berasal dari beragam tokoh agama dan ideologi. Bukankah Soekarno, Hatta, dan Syahrir dikenal sebagai tokoh yang lebih dekat pada sosialisme? Soekarno dan Syahrir cenderung pada sosialisme proletar, sedangkan Hatta cenderung pada sosialisme Islam. Pada kutub lain, Hasyim Wahid, Ki Bagus Hadikusomo cenderung pada Islamisme, dan sebagianya.

Orang boleh berideologi Islam, Kristen, Sosialisme, dan sebagainya, asalkan mereka tidak menentang Pancasila sebagai falsafah negara. Orang diperkenankan mengikuti sosialisme, asal ia sepakat dengan NKRI, harusnya begitu cara berfikirnya.

Sejarah pun mencatat, bahwa perumusan Pancasila sangat terinspirasi dari ajaran-ajaran Islam. Karena itu jika ada sekelompok Ormas yang tidak mencantumkan Pancasila sebagai asasnya tidak bisa danggap sebagai kelompok anti-Pancasila.

Pancasila tidak murni rumusan seorang Soekarno sendirian. Pancasila saat ini adalah hasil kesepakatan tokoh-tokoh bangsa yang memiliki berbagai aspirasi ideologis, termasuk para tokoh Islam yang tergabung dalam Panitia Sembilan di BPUPK; yaitu KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar Muzakkir. [baca: Seputar Hari Lahir dan Penggali Pancasila]

Bukankah selama ini banyak partai politik atau Ormas yang berasas Pancasila? Tetapai perilakunya adalah Kapitalisme? Bukankah banyak elit bangsa yang tak punya ideologi atau asas hidup, kecuali asas pragamatisme sebagaimana dinaut sebagian besar politisi Indonesia? Bukankah Kapitalisme itu bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi Negara? Jika dirunut secara historis dan legal formal, Pancasila itu lebih dekat dengan Islam atau Sosialisme. [baca juga: Jangan Pertentangkan Islam dan Pancasila]

Karena itu, pemerintah dan DPR semestinya lebih bijak dalam membuat dan merumuskan pasal-pasal tentang hak berserikat dan berpendapat masyarakat. Dan, semua itu diakui dan dlindungi UUD 1945. Jangan hanya karena soal berbeda asas, kemudian Ormas atau LSM dilarang beroperasi. Padahal, publik pun tahu bahwa Ormas dan gerakan-gerakan Islam lainnya juga bertujuan membangun negara ini.

Jika diperhatikan secara seksama dengan hati dan pikiran yang jernih, gerakan dan usaha mereka memperbaiki negara ini dalam bidang pendidikan, kepemudaan, kewanitaan, dan sebagainya laik diapresiasi.

Toh, kinerja dan usaha Ormas-ormas Islam dan gerakan dakwah lainnya di Indonesia bisa disaksikan dengan jelas. Mana yang hanya mencari peruntungan ekonomi sesaat, mana yang hanya sering menggelar tawuran massal, menjadi perpanjangan penguasa, bahkan mana yang jelas-jelas menjadi kaki-tangan kepentingan asing. Sangat mudah membedakannya.
Publik tidak ingin pengaturan perundangan-undangan negara terhadap warganya hanya karena pesanan atau menguntung satu negara lain. Ini artinya negara Indonesia tidak berdaulat dan itu mencerminkan sikap anti-Pancasila.

Sebagai negara yang berdaulat, berasas Pancasila, dan ber-NKRI, maka pembentukan dan perumusan perundang-undangan harus didasarkan pada kepentingan bangsa sendiri.
Pelarangan dan penghapusan sebuah Ormas yang hanya didasarkan karena ideologi itu tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi menambah beribu masalah. Alasannya, ideologi seseorang atau masyarakat tidak bisa dihapuskan begitu saja, tanpa sebuah upaya pemahaman sosial politik keagamaan yang komprehensif dan kontinyu.

Kalangan DPR dan pemerintah harusnya lebih peka berfikir. Bagi kaum muslimin, Islam adalah segala-galanya, karena itu tak patut Islam di bawah posisinya dengan ideologi lain. Karena itu, mengusik kembali (atau) mempertentangkan Pancasila dengan Islam, hanya akan menyeret polemik dan kontroversi yang hanya mengeluarkan ongkos yang sangat besar resikonya. Kasus seperti ini pernah terjadi di masa lalu saat pemerintah Orde Baru mendoktrinasi Asas Tunggal (Astung). Sebagai bangsa yang baik dan yang mau belajar sejarah, harusnya hal seperti ini tak perlu terulang lagi.

Karena itu, sebelum RUU Ormas disahkan, sebaiknya pemerintah dan DPR untuk duduk kembali, berkontemplasi sejenak, serta mengundang para ulama, para ahli, pimpinan Ormas Islam maupun lainnya, untuk berbicara dari hati ke hati, untuk mendapatkan titik temu dalam berbangsa dan bernegara, tanpa harus saling menafikan peran dan kontribusinya bagi pembangunan peradaban.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar